Qonita Kurnia Anjani, alumni Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin (Unhas) angkatan 2012 berhasil meraih gelar doktor di Queen’s University Belfast, Irlandia Utara pada usia 25 tahun.
Dilansir dari laman resmi Unhas yang mengutip Identitas Unhas, lembaga pers kampus Unhas, Qonita mengaku sudah tertarik dengan pengembangan obat-obatan sejak semester satu di Unhas.
Saat semester tiga, ia mulai menekuni bidang penelitian tentang teknologi penghantaran obat.
Khususnya teknologi yang memungkinkan obat bisa masuk ke dalam kulit.
Sejak saat itu, ia kerap mengikuti lomba yang berhubugan dengan penelitian di bidang farmasi.
Ia pun pernah menyabet medali emas dalam kompetisi 8th European Exhibition of Creativity and Innovation pada 2016.
Wanita kelahiran 1995 ini menuangkan ketertarikkannya itu ke dalam skripsinya yang banyak membahas tentang gel.
Belakangan ia tahu, ternyata di luar negeri sudah dikembangkan teknologi serupa yang lebih praktis, yaitu microneedle.
Qonita, menjelaskan, bentuknya seperti patch yang dilengkapi dengan jarum-jarum mikro, yang dapat menghantarkan obat tanpa darah dan rasa sakit.
Dari situ, alumni Peserta Student Exchange Officer untuk Indonesia pada International Pharmaceutical Students Federation (IPSF) ini, mulai membaca jurnal dan referensi tentang microneedle.
Ia juga membuat daftar profesor yang menekuni bidang tersebut di berbagai belahan dunia dan berniat untuk melanjutkan studi S2 ke luar negeri.
“Saya menghubungi profesor yang ternyata sudah memiliki banyak hak paten dan publikasi, yang berhubungan dengan microneedle.
Di situ permintaan saya disambut baik, akhirnya profesor itulah yang menjadi dosen pembimbing saya di Queen’s University Belfast” ujarnya.
Sempat Bimbang Lanjut S3 Perempuan berdarah Palu ini, mulanya terdaftar beasiswa sebagai mahasiswa S2 di Queen’s University Belfast, dengan masa studi dua tahun.
Setelah melewati tahap initial review (evaluasi progres penelitian tiga bulan pertama), dosen pembimbingnya di Queen’s University Belfast melihat potensi penelitian yang ia garap, sehingga Qonita pun didorong lanjut penelitian S3.
Pertimbangannya, penelitian yang Qonita garap memenuhi standar untuk program PhD.
Awalnya ia menolak, apalagi mengingat beasiswa yang didapatkan hanya dua tahun, sedangkan untuk studi PhD membutuhkan waktu normal minimal tiga tahun.
Waktu itu, alumni Unhas angkatan 2012 tersebut cukup dilematis karena merasa tidak mampu bertahan hidup di luar negeri, dengan tambahan satu tahun tanpa bantuan beasiswa.
Apalagi dosen pembimbingnya hanya membantu menanggung uang SPP, tidak biaya hidup Qonita.
Pada akhirnya, perempuan yang pernah aktif di BEM Farmasi ini memutuskan mengikuti ujian diferensiasi terlebih dahulu, semacam ujian sidang tahun pertama untuk PhD yang menjadi batu loncatannya berpindah ke program PhD.
Di samping rasa syukur karena bisa lanjut PhD, ia mengaku resah karena perjanjian awal beasiswa yang hanya dua tahun, pengurusan pengalihan itu sempat mengalami kesulitan.
Ia juga terkendala masalah visa yang memang validitasnya hanya 2,5 tahun.Setelah melewati berbagai pertimbangan, akhirnya ia nekat melanjutkan pendidikan dengan sisa waktu yang ada.
“Saat itu saya benar-benar mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk mengejar tenggat waktu yang tersedia.
Alhamdulillah, saya dapat selesai dalam waktu dua tahun tiga bulan,” ujarnya.
Ingin Berkontribusi untuk Indonesia Dalam pendidikan PhD yang dijalani Qonita, penelitian yang diambil berjudul Development of Antibiotic Microneedle Delivery Systems for Tuberculosis Treatment.
Berfokus pada pengembangan teknologi microneedle patch untuk obat-obatan tuberkulosis.
Qonita menyadari, Indonesia termasuk negara tertinggi ketiga kasus tuberkulosis terbanyak di dunia.
Angka kematian juga tinggi karena pasien kadang tidak patuh minum obat, sehingga banyak terapi yang dilakukan gagal.
Oleh karena itu, ia berpikir mencari alternatif pengobatan lain dengan mengaplikasikan teknologi microneedle.
“Jadi di masa yang akan datang, diharapkan pasien tersebut dengan penyakit tuberculosis bisa menempelkan patch ke kulit untuk pengobatannya, sebagai ganti dari minum tablet,” jelasnya.
Melanjutkan Studi Post Doctoral Saat ditanya tentang kesan kuliah di luar negeri, wanita yang hobi memasak itu mengatakan bahwa kuliah di luar negeri tidak seindah foto-foto di Instagram.
Ia mengatakan banyak sekali tantangan yang harus dihadapi saat kuliah di luar negeri.
Berbagai kendala ia hadapi mulai dari jauh dari orang tua, cuaca, hingga perbedaan budaya.
Menurut Qonita, saat kuliah di luar negeri sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan lingkungan yang baik.
Tak lupa, alumni MAN Insan Cendekia Gorontalo tersebut juga membagikan tips dan trik untuk mahasiswa yang ingin mengikuti jejaknya berkuliah hingga di luar negeri Menurutnya, hal paling utama yaitu berdoa, berusaha semaksimal mungkin dan mengerti passion dalam diri.
“Passion tidak didapat dengan instan, harus melalui banyak proses hingga mengerti betul apa yang bisa diperjuangkan.
Perbanyak pengalaman dengan ikut lomba-lomba, seminar dan lainnya.
Banyak-banyak cari masalah, tetapi lebih banyak cari jalan keluarnya,” katanya menyarankan.
Setelah menyelesaikan segala urusannya di Belfast, Qonita berniat menjadi dosen dan peneliti.
Sembari menunggu pendaftaran dosen dibuka, ia pun berencana untuk melanjutkan program post doctoral selama satu tahun.