Setiap 31 Mei, dunia memperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Tujuannya, agar perokok berusaha berhenti merokok sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan.
Dilansir dari dinkes.mojokertokab.go.id, tercatat sedikitnya 6 juta orang meninggal setiap tahunnya diakibatkan tembakau dalam rokok.
Dan, 3 juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung.
Dari 6 juta orang tersebut, terdapat 600 ribu orang perokok pasif, artinya yang hanya menghirup asap dari perokok aktif juga banyak yang menjadi korban.
Atas dasar itu, WHO mendeklarasikan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 1988.
Saat itu, WHO mendeklarasikan 7 April 1988 sebagai Hari Tidak Merokok Sedunia.
Tanggal ini ditetapkan untuk memperingati 40 tahun kelahiran WHO di Jenewa, Swiss, pada 7 April 1948.
Kemudian diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 1988.
Merekalah yang memperkenalkan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati 31 Mei setiap tahunnya.
Tak hanya berdampak untuk kesehatan, dilansir dari buku Rokok: Ancaman Kesehatan dan Lingkungan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI, WHO mencatat 600 juta pohon ditebang dan 22 juta liter digunakan untuk membuat rokok.
Penanaman, pembuatan, dan penggunaan tembakau meracuni air, tanah, pantai, dan jalan-jalan kota dengan bahan kimia, limbah beracun, puntung rokok, termasuk mikroplastik, dan limbah rokok elektronik.
Dampak berbahaya dari industri tembakau terhadap lingkungan sangat luas dan semakin menambah beban pada sumber daya bumi yang semakin langka dan ekosistem yang rapuh.
Dengan kontribusi gas rumah kaca tahunan setara 84 megaton karbon dioksida, industri tembakau berkontribusi terhadap peningkatan suhu global, perubahan iklim, mengurangi ketahanan iklim, membuang-buang sumber daya, dan merusak ekosistem.
Asap rokok berkontribusi pada tingkat polusi udara yang lebih tinggi.
Saat ini Indonesia memiliki jumlah perokok laki-laki tertinggi di dunia dan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah India dan China.
Berdasarkan GATS 2021, 34,5 persen orang dewasa (70,2 juta), 65,5 persen pria, dan 3,3 persen wanita menggunakan tembakau.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI pada 2018, tercatat sebanyak 63,4 persen perokok saat ini berencana atau sedang berpikir untuk berhenti merokok 85,7 persen orang dewasa percaya bahwa merokok menyebabkan penyakit serius.
Selain itu, prevalensi merokok di kalangan anak-anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Mengurangi konsumsi tembakau dapat menjadi pengungkit utama untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), bukan hanya yang terkait langsung dengan kesehatan, namun juga melindungi lingkungan hidup.
Pemerintah juga memastikan seluruh masyarakat untuk memiliki akses berhenti merokok melalui layanan konseling berhenti merokok “Quitline” dan klinik berhenti merokok di puskesmas-puskesmas.
Komitmen berhenti merokok dapat meningkatkan kesehatan, menyelamatkan nyawa, melindungi lingkungan dan menghemat beban negara dari penyakit akibat rokok.
ANNISA FIRDAUSI